Keluarga Mohammad Syafaat Mintaredja, Pendiri Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Mohammad Syafaat Mintaredja (17 Februari 1921 – 20 Oktober 1984), dikenal juga dengan sapaan Pak Mintaredja, adalah seorang politikus dan negarawan Indonesia. Ia merupakan Pendiri dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan pertama yang menjabat sejak tahun 1973 sampai 1978.[4] Mintaredja juga dikenal sebagai pemimpin Parmusi dan beberapa organisasi, di antaranya Himpunan Mahasiswa Islam dan Muhammadiyah.
Mintaredja lahir dari keluarga Muhammadiyah, ia kuliah di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, di Yogyakarta, dan Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda. Ia memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Indonesia. Sebagai pemuda, ia aktif dalam Gerakan Pemuda Islam. Bersama beberapa orang lainnya, ia mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam yang berkedudukan di Yogyakarta. Ia menjadi Ketua Umum kedua HMI setelah Lafran Pane. Ia juga aktif di Resimen Mahasiswa, kekuatan sipil yang dilatih dan dipersiapkan secara militer untuk mempertahankan NKRI. Saat aktif di Resimen Mahasiswa, Ia membantu TNI dalam melawan Agresi Militer Belanda, dan memberantas pemberontakan PKI di Madiun.
Setelah ditunjuk menjadi Ketua Umum Partai Muslimin Indonesia oleh Presiden Soeharto sebagai upaya pemerintah untuk mengatur Parmusi yang kala itu terjadi pergolakan. Pada masa kepemimpinannya, Parmusi mengikuti Pemilu tahun 1971. Saat itu partai tersebut mendapatkan 2.930.746 suara (5,36%) serta memperoleh 24 kursi di DPR atau urutan ketiga terbesar setelah Golkar dan Nahdlatul Ulama. Ia tetap menjadi pimpinan sampai partai ini mengalami fusi pada tanggal 5 Januari 1973, Mohammad Syafa'at Mintaredja mendirikan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) atau P3 bersama Idham Chalid, Anwar Tjokroaminoto, Rusli Halil, dan Masjkur yang merupakan hasil gabungan dari empat partai berbasis Islam, yakni Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia, dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Dengan hasil gabungan dari partai-partai besar berbasis Islam, maka Partai Ka'bah telah memproklamirkan diri sebagai Rumah Besar Umat Islam.[5]
Karya tulis
Sampai akhir Revolusi Nasional Indonesia 1949, masih sangat sedikit mahasiswa muslim yang bisa masuk ke perguruan tinggi.[2] Salah seorang di antara mereka adalah Mintaredja yang mengikuti kuliah di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Pendidikan yang ia ikuti tersebut kemudian mewarnai pengalaman berorganisasi selanjutnya.
Selama hidupnya, Mintaredja telah menulis beberapa buku. Buku-buku yang pernah ia tulis dan diurutkan berdasarkan tahun terbitnya antara lain:
- 1968: Pemerintah dan Pembentukan Partai Muslimin Indonesia. Djakarta.
- 1968: Perdjuangan Ummat Islam Mengalami Setback 25 Tahun. Djakarta.
- 1971: Renungan Pembaharuan Pemikiran: Masjarakat Islam dan Politik di Indonesia. Jakarta: Permata.
- 1974: A Reflection and Revision of Ideas : Islam and Politics Islam and State in Indonesia. Siliwangi.
- 1975: Rasionalisme versus Iman: Iman, Ilmu, Amal. Jakarta: Septenarius.
- 1976: Islam dan Politik, Islam dan Negara di Indonesia: Sebuah Renungan dan Pembaharuan Pemikiran. Jakarta: Septenarius.
- 1977: Generasi Muda dari Zaman ke Zaman. Jakarta: Septenarius.
- 1977: Kehidupan Berumah Tangga dan Naik Haji. Tunas Jaya.
Dalam buku-buku yang ditulisnya itu tampak pandangan Mintaredja yang bersifat moderat tentang Islam. Ia termasuk pengkritik awal tentang keinginan mendirikan negara Islam.[1] Bukan hanya karena bangsa Indonesia bersifat majemuk tetapi juga karena menurutnya tidak ada dasar yang kuat dalam Al Qur’an dan hadits untuk mendirikan negara demikian. Mintaredja juga mengkritik Masyumi yang terlalu menekankan masalah ideologi dan mengabaikan masalah ekonomi dan kesejahteraan yang sebetulnya sama pentingnya.[1] Rupanya pandangan demikianlah yang membuat Mintaredja dapat masuk ke lingkaran dalam pemerintahan Orde Baru, setidaknya dalam periode-perode awalnya.
Karier politik
Pak Mintaredja tercatat pernah menjadi pimpinan dalam berbagai organisasi dan partai politik, juga pernah menduduki beberapa jabatan dalam pemerintahan. Berikut ini adalah organisasi yang pernah dipimpin dan jabatan yang pernah disandangnya diurutkan berdasarkan kronologi pengangkatannya.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Artikel utama: Himpunan Mahasiswa Islam
Mintaredja menjadi ketua HMI mulai tanggal 22 Agustus 1947 atau 6 bulan setelah HMI berdiri 5 Februari 1947.[6] Pada saat itu, salah seorang pendiri sekaligus ketua HMI sebelumnya, Lafran Pane melakukan penyegaran kepengurusan HMI. Ia memilih Mintaredja untuk menggantikannya menjadi ketua, sementara ia sendiri menjadi wakil ketua. Pada saat terpilih, Mintaredja sedang menjadi mahasiswa BPT Gajah Mada (sekarang Universitas Gajah Mada). Dengan terpilihnya seorang mahasiswa dari perguruan tinggi umum dan bukan perguruan tinggi Islam, HMI memperluas aksesnya. HMI juga terhindar dari kesan bahwa organisasi ini hanya milik mahasiswa Sekolah Tinggi Islam sebagai tempat kuliah ketua sebelumnya.
Selanjutnya pada Kongres II HMI, Mintaredja kembali dikukuhkan menjadi Ketua PB HMI untuk periode tahun 1947 sampai 1951. Namun pada bulan Desember 1948, terjadi Agresi Militer Belanda II. Yogyakarta diduduki Belanda, sehingga para pengurus HMI terpencar. Saat itu, Mintaredja bertugas di luar Yogyakarta sehingga pimpinan HMI diserahkan kembali kepada Lafran Pane.
Menteri Negara Penyelenggaraan Hubungan antara Pemerintah dengan MPR, DPR-GR, dan DPA
Jabatan pertama Mintaredja dalam kabinet adalah saat ia diangkat menjadi Menteri Negara Bidang Penyelenggaraan hubungan antara pemerintah dengan MPR/DPRGR dan DPA pada Kabinet Pembangunan I. Kabinet tersebut terbentuk tanggal 6 Juni 1968 dan dilantik pada tanggal 10 Juni 1968. Pada 9 September 1971 atau 66 hari setelah Pemilu tahun 1971, diadakan perombakan kabinet. Beberapa menteri diberhentikan atau dipindahtugaskan. Mintaredja juga termasuk yang dipindahtugaskan karena bidang garapan yang lama dihapus setelah perombakan.[7] Ia menempati posisi baru sebagai Menteri Sosial menggantikan pejabat sebelumnya yaitu Albert Mangaratua Tambunan.
Partai Muslimin Indonesia (Parmusi)
Mintaredja menjadi Ketua Parmusi ketika partai itu sedang mengalami konflik yang tajam di kalangan internal partai.[8] Saat itu terjadi pertentangan antara kelompok Djarnawi Hadikusumo dengan kelompok Djaelani Naro. Dalam situasi demikian, kedua belah pihak yang bertikai menyerahkan masalah kepemimpinan partai itu sepenuhnya kepada Presiden Suharto.[9] Presiden kemudian turun tangan dan menyelesaikan masalah dengan cara memberikan jabatan partai kepada Mintaredja,[10] seorang tokoh Muhammadiyah yang saat itu tengah menjabat sebagai menteri negara.
Pemerintah melihat bahwa kedua belah pihak menyetujui kebijaksanaan yang diambil oleh presiden saat itu.[9] Namun ada yang menganggap bahwa peristiwa yang dialami Parmusi itu sebenarnya adalah salah satu bentuk intervensi dan rekayasa yang dilakukan pemerintah orde baru terhadap partai-partai politik, terutama partai yang membawa aspirasi agama (Islam), untuk mengendalikan kehidupan partai tersebut.[8][11] Pengangkatan Mintaredja sebagai ketua juga dianggap membuat Parmusi hanya sebagai pengakomodasi kebijakan-kebijakan pemerintah, sangat berbeda dengan cita-cita para pendirinya yang mengharapkan Parmusi dapat menjadi reinkarnasi Partai Masyumi yang kritis.[12] Bagaimanapun, Mintaredja tetap menjadi pimpinan sampai partai ini mengalami fusi pada tahun 1973.
Pada masa kepemimpinan Mintaredja, Parmusi mengikuti Pemilu tahun 1971. Saat itu partai tersebut mendapatkan 2.930.746 suara (5,36%) serta memperoleh 24 kursi di DPR atau urutan ketiga terbesar setelah Golkar dan Partai Nahdlatul Ulama.[13]
Menteri Sosial
Periode pertama jabatan sebagai menteri sosial disandang Mintaredja mulai tanggal 9 September 1971 sampai tanggal 28 Maret 1973, yaitu di Kabinet Pembangunan I pasca perombakan. Pada saat itu, ia masih menjabat sebagai pimpinan Parmusi.
Jabatan tersebut kembali disandangnya pada Kabinet Pembangunan II, mulai tanggal 28 Maret 1973 sampai dengan tanggal 29 Maret 1978. Salah satu gagasan kontroversial Departemen Sosial pada periode itu, tepatnya pada tahun 1974, adalah dimunculkannya sistem perjudian yang disebut ‘’forecast’’. Pemerintah sampai merasa perlu untuk mengirimkan tim guna mempelajari sistem perjudian tersebut ke Inggris, tempat sistem ini pertama kali diperkenalkan. Setelah dua tahun ditelaah, Departemen Sosial berpendapat ‘’forecast’’ mempunyai sistem yang sangat sederhana serta tidak menimbulkan kesan judi semata.[14][15] Walaupun demikian, penerapan gagasan tersebut yang berupa Kupon Berhadiah Porkas Sepak Bola baru diresmikan, diedarkan, dan dijual sebelas tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 28 Desember 1985 saat menteri sosial dijabat oleh Ny. Nani Soedarsono, S.H..
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Artikel utama: Partai Persatuan Pembangunan
Mohammad Syafa'at Mintaredja sebagai Ketua Umum Parmusi menjadi salah satu dari lima orang deklarator PPP pada tanggal 5 Januari 1973.[16] Keempat deklarator lainnya adalah:
- KH Idham Chalid, Ketua Umum PB Nadhlatul Ulama (NU);
- Anwar Tjokroaminoto, Ketua Umum PSII;
- Rusli Halil, Ketua Umum Partai Islam Perti; dan
- Masjkur, Ketua Kelompok Persatuan Pembangunan di Fraksi DPR.
Selanjutnya, Idham Chalid yang berasal dari NU, kelompok paling dominan dalam PPP, diangkat menjadi presiden partai. Jabatan tersebut cukup bergengsi tetapi kurang berpengaruh sebagaimana jabatan Ketua Umum DPP partai yang ditempati Mintaredja.[17] Presiden Suharto juga turut merestui kepemimpinan PPP yang baru terbentuk tersebut dan menyatakan rasa syukurnya sebab fusi bekas partai-partai Islam itu telah memenuhi ketetapan MPR[18] dan dijalankan secara demokratis.[19]
Akan tetapi dalam perjalanan selanjutnya, PPP beberapa kali mengalami perbenturan dengan pemerintah dalam sidang di DPR. Salah seorang tokoh yang vokal dan menentukan dalam partai adalah Kiai Haji Bisri Syansuri yang menjabat sebagai presiden Majelis Syuro dan berasal dari NU. Pertentangan terjadi misalnya saat RUU Perkawinan dibawa ke sidang DPR pada tahun 1973.[17] PPP menolak RUU tersebut karena berisi aturan-aturan yang bertentangan dengan hukum Islam. Walaupun demikian Mintaredja secara pribadi bersama Mukti Ali, menteri agama pada saat itu, termasuk kepada kelompok yang menyetujui RUU tersebut. Mintaredja bahkan menyatakan bahwa RUU tersebut adalah produk pemikiran terbaik dan tidak bertentangan dengan Islam. Namun 20 tahun kemudian, dalam sebuah wawancara Mukti Ali mengungkapkan bahwa persetujuan mereka saat itu karena sedang berada dalam tekanan.[1]
Konfrontasi selanjutnya terjadi saat Pemilu 1977. Saat itu ada pemaksaan kepada rakyat dari pihak militer dan penguasa sipil untuk memilih Golkar disertai adanya kekerasan-kekerasan pada juru kampanye PPP.[17] Namun hasil pemilu tersebut cukup memuaskan karena PPP mendapat 29 kursi[20] yang berarti ada tambahan 5 kursi dibanding jumlah kursi dalam pemilu sebelumnya dari partai-partai yang kemudian tergabung dalam PPP. Partai ini bahkan memperoleh kemenangan yang penting secara psikologis dengan mengalahkan Golkar di Jakarta dan bahkan memperoleh mayoritas mutlak di Aceh (yang sebelumnya merupakan basis PERTI).[17]
Konfrontasi lain yang lebih serius kembali muncul saat membahas Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam Sidang Umum MPR tahun 1978. PPP menentang keras item dalam GBHN tersebut yang menyejajarkan aliran kepercayaan dengan agama sampai-sampai mereka meninggalkan ruang sidang (‘’walk-out’’) pada saat dilakukan voting sehingga dianggap menghina pemerintah dengan ideologinya.[17] Akibatnya kedudukan Mintaredja sebagai Ketua Umum DPP PPP dicopot melalui manipulasi politik yang dijalankan Ali Murtopo. Tanpa ada undangan rapat pengurus apalagi muktamar, Djaelani Naro, rekan dekat Ali Murtopo, mengumumkan dirinya sebagai ketua baru. Suatu proses penggantian pimpinan yang jelas-jelas melanggar anggaran dasar partai.[17]
Duta Besar Indonesia untuk Turki
Walaupun banyak yang menentang pendapat bahwa duta besar adalah “jabatan buangan” bagi mereka yang sudah tidak menjabat sebagai menteri,[21] namun jabatan tersebut menjadi jabatan terakhir Mintaredja di pemerintahan setelah tidak dipilih kembali menjadi menteri pada Kabinet Pembangunan III. Negara yang dijadikan tempat bertugasnya sebagai duta besar sampai tahun 1983 adalah Turki.[3]
Kehidupan pribadi
Mohammad Syafa'at Mintaredja memiliki beberapa orang anak, anak pertamanya, Evac Syafruddin Mintaredja memutuskan untuk tidak mengikuti jejak ayahnya dan memilih untuk memulai kariernya dari bawah hingga akhir hayatnya ia menjadi Kepala Biro Media di Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia di bawah Wakil Presiden Jusuf Kalla. Putra Evac, Arie Syafriandi Mintaredja juga memilih untuk menjadi pengusaha, hingga generasi ke-4, Alvaro Rafi Syafaat Mintaredja atau yang lebih dikenal dengan Alvaro Mintaredja yang terlihat kembali aktif mewakili keluarga di PPP sejak tahun 2025 setelah partai yang didirikan oleh buyutnya yakni Mohammad Syafaat Mintaredja tersebut tidak lolos ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Pemilihan Umum Legislatif Indonesia tahun 2024 untuk pertama kalinya dalam sejarah. Ia juga terlihat bersama Presiden Jokowi di pernikahan keponakan Presiden Abdurrahman Wahid yang merupakan kerabat dekat Keluarga Mintaredja. Gus Dur atau Abdurrahman Wahid juga dikenal sebagai pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). dan berharap dengan adanya Alvaro Mintaredja dan peran aktif Keluarga Besar Mohammad Syafaat Mintaredja, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dapat kembali menduduki Senayan (DPR) pada tahun 2029. Sandiaga Uno yang merupakan kader baru PPP pun turut menyampaikan rasa prihatin dan permohonan maaf atas kejadian ini serta mengajak seluruh kader PPP untuk tetap semangat.
Keluarga
Mohammad Syafaat Mintaredja menikah dengan seorang Perempuan bernama Siti Romlah dan Anak Pertamanya yaitu Evac Syafruddin Mintaredja menikah dengan Sri Widiarsih binti Raden Danoe Soegito dan mempunyai Anak yaitu Arie Syafriandi Mintaredja yang menikah dengan Fanny Eldiana dan mempunyai Anak yaitu Alvaro Rafi Syafaat Mintaredja
Anak :
- Evac Syafruddin Mintaredja menikah dengan Sri Widiarsih binti Raden Danoe Soegito
Cucu :
- Arie Syafriandi Mintaredja menikah dengan Fanny Eldiana
- Lia Siti Syafruliana menikah dengan Novie Kresna Surosaputra
- Siti Halimah Syafrimilawardani menikah dengan Michael Tjandrajaya
Cicit :
- Alvaro Rafi Syafaat Mintaredja
- Jemima Nesha Syafrilatifah
- Amanda Kanaela Surosaputra
- Anindia Refa Syafina
- Rachel Nathania Syafitri
Penghargaan
Sebagai penghargaan terhadap jasa-jasa Mintaredja, Pemerintah Kota Cimahi mulai tanggal 10 November 2006 menamai salah satu jalan di wilayahnya dengan nama Jalan H.M.S. Mintaredja, S.H. (Jalan Haji Mohammad Syafaat Mintaredja Sarjana Hukum)[22] Jalan tersebut berada di Kelurahan Baros tidak jauh dari tempat tinggal Mintaredja di Jalan H.Haris. Jalan sepanjang 1,5 km itu menghubungkan Jalan Baros, Gerbang Tol Baros, dan Jalan Mahar Martanegara.
Comments
Post a Comment